Senin, 13 Januari 2020

Filsafat Pendidikan Matematika: Penjelasan Filosofis terhadap Objek Matematika di SMP (Tugas Akhir Bagian II)


Filsafat Pendidikan Matematika




PENJELASAN FILOSOFIS TERHADAP BEBERAPA OBJEK MATEMATIKA DI SMP




Diajukan kepada Prof. Dr. Marsigit, M. A.
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu








Disusun oleh:

Rona Happy Mumpuni
NIM 19709251059








PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019



I.            Filsafat Matematika dan Tinjauan Objek: Geometri
Menurut Gie dalam Dwin Gideon (2004 : 216), filsafat matematika merupakan sudut pandang yang menyusun dan mempersatukan pelbagai bagian dan kepingan matematik berdasarkan beberapa asas dasar. Persoalan dalam filsafat matematika dapat diperinci menjadi tujuh persoalan sebagai bertikut:
1) Epistemologi matematik, yang menelaah matematika berdasarkan berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas, asumsi dan landasan.
2) Ontologi matematik, yang mempersoalkan cakupan pernyataan matematik sebagai dunia nyata atau bukan.
3) Metodologi matematik, yang menelaah metode khusus yang dipergunakan dalam matematika.
4) Struktur logika matematik, yang membahas matematika sebagai struktur yang bercorak logis, yaitu struyktur yang tunduk pada kaidah logika (law of logic), dan yang mencapai kesimpulan logis (logical conclusions) tanpa menghiraukan keadaan dunia empirik.
5) Implikasi etis matematis, yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan matematika dalam pelbagai bidang kehidupan, yang dipandang dari sudut pandang etika.
6) Aspek estetis matematik, yang berkaitan dengan ciri seni dan keindahan matematika, yang diukur berdasarkan orisinalitas ide, kesederhanaan dalil, dan kecemerlangan pemikiran; dan
7) Peranan matematik dalam sejarah peradaban, yang meliputi analisis, deskripsi, evaluasi, dan interpretasi tentang peranan matematik dalam peradaban sejak zaman kuno hingga abad modern.

Pada geometri, hal yang berhubungan dengan dengan filsafat adalah keberadaan objeknya. Hal ni berhubungan dengan persoalan tentang ”ada”, sehingga berada pada ranah ontologi. Matematika ditinjau dari aspek ontologi, dimana aspek ontologi telah berpandangan untuk mengkaji bagaimana mencari inti yang yang cermat dari setiap kenyataan yang ditemukan, membahas apa yang kita ingin ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental.

Pembahasan geometri meliputi benda-benda abstrak sebagai objeknya. Pada kenyataannya, benda-benda abstrak tersebut dapat dimodelkan dengan benda-benda kongkret sebagai objek pengamatan, khususnya pada tahap awal pembelajaran tentang geometri di SD ataupun SMP. Pemodelan tersebut tetap harus memperhatikan batasan-batasan atau definisi atau pengertian dari benda-benda geometri yang dimaksud. Sehingga upaya mengkongkretkan banyalah untuk mempermudah dalam penginderaan dan diarahkan untuk tidak merancukan atas definisi atau pengertian benda-benda geometri yang sebenarnya. Dengan pengamatan inderawi, para subjek pembelajar diharapkan memahami pengetahuan melalui pengenalan dan pengertian. Pada akhirnya diarahkan untuk memahami objek geometri sebenarnya yang bersifat abstrak dan hanya ada di alam pikiran.

Pada ranah epistemologi, matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dengan konsep-konsep yang kongkrit, kontektual, dan terukur matematika dapat memberikan jawaban secara akurat. Perkembangan struktur mental seseorang bergantung pada pengetahuan yang diperoleh siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi. Penalaran matematika adalah penalaran induktif dan deduktif . Berpikir induktif diartikan sebagai berpikir dari hal-hal khusus menuju umum, berpikir deduktif diartikan sbagai berpikir dari hal khusus menuju umum. Dalam geometri upaya memahami hal-hal yang abstrak guna memperoleh penyelesaian dilakukan melalui pembelajaran yang kontekstual dan pemodelan yang lebih kongkret. Pada asal mula lahirnya geometri, berawal dari upaya untuk mencari solusi terhadap masalah-masalah kongkret dalam kehidupan manusia. Berawal dari keinginan untuk membuat bangunan yang megah dan indah, mempermudah pengukuran, mengakuratkan perhitungan, dan menyelesaikan masalah keruangan lainnya.

Sifat alami geometri yang abstrak berkaitan dengan bangun-bangun pada matematika, berawal dari persoalan nyata kehidupan manusia. Sehingga hubungan antara realitas dan penyusunan pengertian manusia berhubungan erat dengan fenomenologi. Menurut Edmund Hussrel dalam Dwin Gideon (2004 : 217), seluruh ciri benda yang masuk ke dalam kesadaran sebagai fenomena. Fenomena bersifat intensional, yang berarti selalu berhubungan dengan struktur kesadaran. Kesadaran senantiasa terarah menampakkan diri, sehingga terjadi korelasi antara kesadaran dengan fenomena.

Di dalam kesadaran, fenomena berwujud sebagai perwakilan atas objek. Sartre menamakan perwakilan atas objek di dalam kesadaran dengan istilah imaji. Konsep imaji Sartre mempunyai dasar pengertian pada fenomena dan konstitusi Husserl, yang terlihat pada penjelasan :

“Dengan demikian kata imaji hanya menunjukkan hubungan kesadaran dengan obyek; dengan perkataan lain, imaji berarti cara di mana objek menampakkan dirinya dalam kesadaran, atau suatu cara dimana kesadaran menghadirkan objek
untuk kesadaran itu sendiri” (Sartre dalam Dwin Gideon, 2004 : 218).

Imaji dalam kesadaran mempengaruhi proses kognitif terhadap keberadaan objek yang tidak bersifat tunggal. Di saat indera menangkap objek geometri atau pemodelannya, persepsi akan menangkap keseluruhan objek sesuai dengan setyiap imaji dan menghasilkan imaji tentang onjek yang dilihat beserta keadaan lain seperti sifat-sifatnya. Sehingga di saat berhadapan dengan objek geometri yang sebenarnya (abstrak) yang memiliki kesamaan ciri-ciri dengan hasil pengamatan sebelumnya, kesadaran akan membentuk imaji dari objek geometri tersebut. Berdasarkan gagasan tentang imaji, objek-objek tersebut mendapati landasan ontologinya.

Geometri sebagai ilmu abstrak, dalam perlembangannya berperan besar terhadap kemajuan teknologi untuk memecahkan masalah praktis dan moral. Sehingga disamping mendapati landasan ontologinya, geometri dengan mudah juga akan mendapati landasan aksiologinya.

Aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu. Aksiologi merupakan filsafat nilai, menguak baik buruk, benar-salah dalam perspektif nilai. Aksiologi matematika sendiri terdiri dari etika yang membahas aspek kebenaran, tanggungjawab dan peran matematika dalam kehidupan, dan estetika yang membahas mengenai keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain terutama seni dan budaya dalam kehidupan. Jadi, jika ditinjau dari aspek aksiologi, matematika seperti ilmu-ilmu yang lain, yang sangat banyak memberikan kontribusi perubahan bagi kehidupan umat manusia di jagat raya nan fana ini. Segala sesuatu ilmu di dunia ini tidak bisa lepas dari pengaruh matematika.

Dimulai dengan pertanyaan dasar untuk apa penggunaan pengetahuan ilmiah? Apakah manusia makin cerdas dan makin pandai dalam mencapai kebenaran ilmiah,maka makin baik pula perbuatannya. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi maka pemenuhan kebutuhan dapat diperoleh secara cepat, tepat dan mudah. Tetapi ada juga yang menimbulkan bencana bagi manusia seperti perang, senjata nuklir dan lain-lain.

Bagaimana batas wewenang penelitian keilmuwan dan kemana perkembangan ilmu harus diarahkan, harus ditampakkan interaksi ilmu dan moral. Dari ilmu yang abstrak berubah menjadi teknologi untuk memecahkan masalah praktis dan moral. Begitu juga matematika kita mempelajarinya secara abstrak tetapi dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai ilmu pengetahuan. Manusia adalah makhluk yang berpikir artinya manusia selalu berpikir/memikirkan masalah secara rasional (pemikiran logis). Sikap seorang ilmuwan didasarkan pada etika dan agama berarti tanggungjawab terhadap Tuhan, masyarakat dan diri sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut matematika dipandang sebagai ilmu abstrak yang tidak bebas nilai dan moral, sehingga hasil pemikiran seorang matematikawan bisa bermanfaat bagi umum. Tidak dapat menerima sesuatu dengan asal-asalan tetapi harus dipikir secara mendalam dan teliti.

Geometri sebagai aspek dari matematika tidak dapat hanya dipandang sebagai bagian dari matematika. Hal ini karena adanya keterkaitan antar aspek yang satu dengan yang lain dalam matematika untuk secara bersama-sama memberikan sumbangan dalam kemajuan ilmu dan teknologi.

Geometri bersama matematika bertujuan untuk : 1) Melatih cara berfikir dan benalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonistensi, 2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, 3) Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, dan 4) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau memgkomunikasikan gagasan melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, dalam menjelaskan gagasan.

Sedangkan nilai-nilai matematika dapat dilihat pada penggunaanya seperti : 1) Digunakan dalam bidang sains dan teknik, 2) Untuk penelitian masalah tingkah laku manusia, 2) Membantu manusia dalam berdagang dan bidang perekonomian, 3) Ilmu matematikan juga digunakan dalam bidang komputer, 4) Membantu manusia berpikir secara matematis dan logis, dan 5) Dengan bilangan, manusia dapat menentukan kuantitas.

Pada aspek estetika yang membahas mengenai keindahan geometri dan implikasinya pada kehidupan yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain terutama seni dan budaya pada kehidupan. Banyak bangunan megah dan indah dihasilkan dari penerapan geometri pada bidang arsitektur. Bentuk geometris dalam sebuah perumahan modern menunjukkan area-area yang melingkar, garis lurus, konstruksi atap yang berbentuk segitiga, kotak-kotak yang rapi ataupun halaman rumah berbentuk persegipanjang, dan banyak bangun yang simetris terhadap suatu garis. Alam sendiri sama sederhananya dalam hal kesimatrian dan keindahannya, seperti halnya dalam sayap kupu-kupu yang memiliki bentuk identik. Bentuk-bentuk seperti lingkaran, persegipanjang, spiral, dan segitiga bisa kita temukan dalam peninggalan bangsa-bangsa prasejarah, meskipun sebenarnya pola-pola ini telah ada di alam sebelum manusia pertama tercipta. Lompatan pemahaman mengenai geometris merupakan hal yang benar-benar penting dalam sejarah matematika, juga dalam membuat landasan dari teori-teori spektakuler mengenai pergerakan planet-planet, perspektif, dan sebagainya.

Titik-titik, garis-garis, , sudut-sudut, dan bidang-bidang dijadikan sebagai dasar dari bentuk-bentuk geometris. Ketertarikan orang-orang Yunani terhadap geometri memulai sebuah renovasi dalam matematika. Misalnya, dalam sarang lebah madu, kristal-kristal, dan atom. Keduanya juga digunakan dalam bangunan-bangunan yang kita dirikan, mulai dari jembatan-jembatan besar sampai dengan satelit-satelit yang mengorbit ke bumi.


II.            Fenomena Pembelajaran Matematika di Sekolah

Menurut Van Hielle, ada tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran,dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur ditata secara terpadu, akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tahapan berfikir yang lebih tinggi. Teori Van Hiele dikembangkan oleh Pierre Marie Van Hiele dan Dina Van Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an, hingga saat ini telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah.
A.    Karakteristik Teori belajar Van hielle
Teori Van Hiele memiliki beberapa karakteristik menurut Clement dalam Aisyah (2007) sebagai berikut:
a.       Belajar adalah proses yang tidak kontinu. Ini berarti terdapat loncatan di dalam kurva belajar yang memperlihatkan adanya celah yang secara kualitatif membedakan tingkatan berpikir. Siswa yang telah mencapai suatu tingkat, dia tetap pada tingkat itu untuk suatu waktu dan seolah-olah menjadi matang. Dengan demikian tidak akan banyak berarti apabila memberikan sajian kegiatan yang lebih tinggi dari tingkat yang dimiliki siswa.

b.      Tingkatan Van Hiele bersifat hierarkis dan sekuensial. Untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, siswa harus menguasai sebagian besar tingkat sebelumnya. Kecepatan untuk berpindah dari suatu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran dibandingkan dengan umur atau kematangan biologisnya’


c.       Konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi eksplisit pada tingkat berikutnya. Misalnya pada tingkat visualisasi siswa mengenal bangun berdasarkan sifat bangun secara utuh, tetapi pada tingkat analisis, bangun tersebut dianalisis sehingga sifat-sifat serta komponennya ditemukan.

d.      Setiap tingkatan masing-masing mempunyai simbol bahasa tersendiri dan sistem yang mengaitkan simbol-simbol itu. Siswa tidak mudah mengerti penjelasan guru apabila guru berbicara pada tingkat yang lebih tinggi dari tingkat berpikir siswa. Hal ini mungkin akan memunculkan suatu masalah apabila tingkat sajian kegiatan, serta bahan pembelajaran tidak sesuai dengan tingkat berpikir siswa yang menggunakannya.


B.     Tahapan Berpikir teori Van Hielle
Van Hielle dalam teorinya menyatakan bahwa seseorang dalam belajar geometri akan mengikuti 5 tahap perkembangan berpikir yaitu tahap visualisasi, analisis, deduksi informal, deduksi, dan rigor. Setiap tahap menunjukkan karakteristik proses berpikir seseorang dalam memahami geometri. Burger & Culpeper (1993: 141- 243) menjelasakan ke-5 tahap perkembangan berpikir tersebut, yaitu:
a.       Tahap visualisasi
Menurut Clement dan Batista (1992: 427), tahap visualisasi adalah tahap pengenalan konsep-konsep geometri dalam matematika yang didasarkan pada karakteristik visual atau penampakan bentuknya. Dalam hal ini penalaran siswa masih didominasi oleh persepsinya. Pemahaman siswa terhadap bangun-bangun geometri masih berdasarkan pada kesamaan bentuk dari apa yang dilihatnya. Bangun geometri dikenal secara keseluruhan bukan secara bagian-bagian. Pada tahap ini siswa dapat membedakan suatu bangun dengan lainnya tanpa harus menyebutkan sifat-sifat masing-masing bangun tersebut.

Kemampuan berpikir siswa masih berdasarkan pada kesamaan bentuk secara visual. Sebagai contoh, siswa dapat mengenal suatu bagun persegi panjang, karena bentuknya seperti ”papan tulis” . Dalam hal ini siswa belum dapat menyebutkan unsur-unsur persegi panjang seperti panjang dan lebar. Jadi pada tahap ini siswa belum dapat menentukan sifat-sifat dan karakteristik bangun geometri yang ditunjukkan.

b.      Tahap Analisis
Clement& Batista (1992) dalam Husnaeni (2001: 28) menyatakan bahwa siswa pada tahap ini mengakui dan dapat mencirikan bentuk-bentuk bangun geometri berdasarkan sifat-sifatnya, dan sudah tampak adanya analisis terhadap konsep-konsep geometri. Sebagai contoh melalui pengamatan, eksperiman, mengukur, menggambar, melipat, membuat model dan sebagainya siswa dapat mengenali karakteristik dan menemukan beberapa komponen yang mencirikan kelas suatu bangun. Meskipun demikian siswa belum sepenuhnya bias menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut. Jadi belum bisa melihat hubungan antara berbagai bangun, begitu pula dalam memahami definisi.

c.       Tahap Deduksi Informal
Tahap ini dikenal dengan tahap abstraksi/relasional (Clemen & Batista, 1992: 427). Menurut Kahfi (2000), pada tahap ini siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat dalam suatu bangun (misal dalam jajar genjang, sisi yang berhadapan sejajar berakibat sudut-sudut yang berhadapan juga sama besar. Siswa dapat menyusun definisi abstrak (definisi menjadi bermakna), siswa juga dapat menemukan sifat-sifat dari kumpulan bangun pada tahap berpikir deduksi informal. Ketika siswa menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun, mereka merasa perlu mengorgansir sifat-sifat tersebut. Satu sifat bisa menjadi menjadi perantara sifat-sifat lain, sehingga definisi tidak sekedar sebagai bentuk deskripsi, akan tetapi sebagai cara pengorganisasian yang logis. Dari kemampuan berpikir ini akan menjadi jelas mengapa persegi adalah persegi panjang, karena siswa dapat menemukan bahwa sifat-sifat persegi adapada semua sifat-sifat persegi panjang.

Perorganisasian yang logis dari ide-ide ini merupakan ungkapan pertama dari deduksi yang benar. Akan tetapi siswa tetap belum memahami bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun kebenaran geometri. Produk penalaran siswa pada tahap ini adalah reorganisasi dari ide-ide yang telah dipahami sebelumnya dengan menghubung-hubungkan antara sifat-sifat bangun dengan kelas-kelasnya (Husnaeni: 2001)

d.      Tahap Deduksi
Tahap ini juga dikenal dengan deduksi formal (Clements & Batista, 1992).  Siswa yang telah mencapai kemampuan berpikir tahap ini telah dapat menyusun teorema-teorema dalam sistem aksiomatis, dapat mengkonstruksi bukti-bukti orisinil. Husnaeni (2001) mengatakan  bahwa, siswa dapat membuat serangkaian pernyataan-pernyataan logis yang memenuhi untuk menarik kesimpulan yang merangkum pernyataan tersebut. Siswa telah dapat memahami hubungan timbal balik antara syarat perlu dan cukup. Siswa juga berpeluang untuk mengembangkan lebih dari satu cara pembuktian, dan menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.

e.       Rigor
Tahap rigor adalah tahap dimana siswa dapat bernalar secara formal dalam sistem matematika, dan dapat mengkaji geometri tanpa referensi model-model. Sasaran penalaran adalah hubungan-hubungan antara konstruk-konstruk formal. Produk penalarannya adalah mengelaborasi dan membandingkan sistem-sistem aksiomatis pada geometri.

Menurut pandangan van Hiele, pembelajaran geometri hanya akan efektif apabila sesuai dengan struktur kemampuan siswa (Husnaeni, 2001). Dengan demikian pengorganisasian pembelajaran baik isi dan materi maupun strategi pembelajaran merupakan peran strategis dalam mendorong kecepatan siswa untuk melalui tahap-tahap belajar geometri.
Van Hiele berkeyakinan dalam Kahfi (2000) bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak diperoleh guru lewat ceramah, akan tetapi melalui pemilihan latihan yang tepat.( D’Augustine dan Smith, 1992; Clement dan Batista, 1992).

Oleh karena itu van Hiele menawarkan lima tahap pembelajaran yang berurutan dan sekaligus merupakan peran guru dalam mengelola proses pembelajaran, yaitu:
Tahap I: Inquiri
Pada tahap ini, konsep-konsep baru di geometri diperkenalkan melalui interaksi antara guru dan siswa. Pertanyaan yang diajukan diharapkan akan mendorong siswa untuk meneliti dan mengamati, tentang perbedaan dan kesamaan obyek. Tujuan kegiatan ini antara lain digunakan untuk memperoleh informasi tentang pengetahuan awal apa yang dimiliki siswa untuk materi yang akan dipelajari dan dapat mengarahkan siswa pada pembelajaran selanjutnya.  
   
Tahap 2: Orientasi Terarah
Pada tahap ini guru mengarahkan siswa untuk meneliti karakteristik khusus dari obyek-obyek yang dipelajari. Tujuan pembelajaran pada tahap ini adalah agar
- merangsang siswa secara aktif melakukan kegiatan eksplorasi obyek-obyek (seperti mengukur, melipat) untuk menemukan hubungan sifat-sifat dari bentuk-bentuk bangun,
- guru hanya mengarahkan siswa dan membimbingnya dalam kegiatan eksplorasi sehingga mendapatkan hubungan sifat-sifat dari bentuk-bentuk geometri.

Tahap 3: Uraian/ penjelasan
Pada tahap ini guru memberikan kesempatan pada siswa untuk membagi pengalamannya tentang bangun yang diamatinya dengan menggunakan bahasanya sendiri. Pada fase ini siswa diberikan peluang untuk menguraikan pengalamannya, mengekspresikan, dan mengubah pengetahuan intuitif mereka yang tidak sesuai dengan struktur bangun yang diamati. Bobango (1993) menyatakan bahwa aktivitas siswa dalam tahap ini adalah mengkomunikasikan pendekatan dan temuan mereka kepada teman-temannya yang lain.
Peran guru pada tahap ini adalah mengarahkan siswa ketahap pemahaman pada obyek-obyek, ide-ide geometri, hubungan, pola-pola dan sebagainya melalui diskusi antar siswa dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.

Tahap 4: Orientasi bebas
Pada tahap ini siswa mendapatkan tugas-tugas dalam bentuk pemecahan masalah, dimana mereka diarahkan agar dapat menyelesaikannya masalah dengan cara mereka sendiri dalam berbagai cara.


Tahap orientasi bebas bertujuan agar siswa memperoleh pengalaman menyelesaikan permasalahan dengan strategi sendiri. Guru berperan memfasilitasi soal-soal geometri yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan permasalahan.

Tahap 5: Integrasi
Pada tahap ini siswa direncanakan untuk membuat review dan ringkasan dari apa yang telah dipelajarinya. Dalam hal ini guru berperan mendorong siswa untuk membuat ringkasan , dan mengkonsolidasikan hasil pengamatan maupun penemuan mereka yang telah didiskusikan dan mengklarifikasi pengetahuan mereka.

Dalam penerapannya tahapan van Hielle tidak harus dilakukan secara berurut, akan tetapi dapat dilakukan secara berulang tergantung dari pemahaman siswa. Apabila dalam suatu tahap dianggap siswa belum dapat memahami materi, maka pelajaran dapat diulangi pada tahap sebelumnya.

C. Identifikasi Persoalan Filosofis Pembelajaran Matematika di Sekolah

Pendidikan di Indonesia jelas perlu untuk dikembangkan terus menerus. Program filsafat untuk anak adalah salah satu usaha yang perlu dilakukan, guna mewujudkan tujuan tersebut. Program ini amatlah penting, karena filsafat tidak hanya memberikan pengetahuan baru, tetapi juga mengajak orang untuk berpikir tentang hidupnya secara lebih mendalam. Pendek kata, filsafat adalah bagian penting dari pendidikan hidup (Lebensbildung) setiap orang. Dengan kemampuan bernalar kritis serta reflektif, filsafat membentuk cara berpikir, dan mengajarkan orang untuk membuat keputusan dengan berpijak pada pertimbangan-pertimbangan yang tepat. Hal ini tentu amat dibutuhkan oleh setiap orang. Namun, kemampuan ini tidak datang begitu saja, melainkan harus dilatih secara berulang-ulang di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, idealnya, kemampuan ini harus dilatih secara usia dini. Disinilah arti terpenting dari program filsafat untuk anak untuk konteks Indonesia. Peran guru, orang tua, pemerintah dan masyarakat luas juga amatlah besar, yakni sebagai “fasilitator filosofis”, guna membantu anak berpikir secara mandiri dan kritis.

Pada tingkat yang lebih luas, program filsafat untuk anak juga bisa berperan amat besar untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia di Indonesia. Ini amatlah penting untuk menunjang kemajuan bangsa. Namun, program filsafat untuk tidak boleh jatuh pada birokratisasi yang justru membunuh roh kritis dari filsafat itu sendiri. Ia juga harus memberikan ruang yang memadai untuk berdialog dengan kultur setempat yang sebelumnya sudah ada di Indonesia.

Pendidikan matematika di Indonesia membawa hasil yang masih jauh dari harapan. Hal ini ditunjukkan dengan dipublikasikannya hasil penelitian yang dilakukan oleh TIMSS (Thrends International Mathematics Science Study) pada tahun 2015 yang lalu. Hasil TIMSS 2015 yang baru dipublikasikan Desember 2016 lalu menunjukkan prestasi siswa Indonesia bidang matematika mendapat peringkat 46 dari 51 negara dengan skor 397. Sementara itu 5 besar peringkat tertinggi adalah Singapura, dikuti oleh Korea, Cina, Hongkong dan Jepang, Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkap oleh hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2015. Indonesia menduduki peringkat 10 dari bawah dengan rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia untuk matematika berada di peringkat 63 dari 70 negara yang dievaluasi.

Hasil yang ditunjukkan oleh TIMSS maupun PISA tentu merupakan sebuah  tamparan  bagi  bangsa  Indonesia  untuk  segera  introspeksi  dan berbenah diri. Pasalnya menurut Pranoto ada penelitian yang menyimpulkan bahwa anak yang penguasaan matematikanya kurang akan sulit berjalan” di abad 21 ini. Hal ini tentu akan sangat berbahaya bagi kemajuan bangsa ditengah persaingan dunia yang sangat ketat.

Hasil yang kurang menyenangkan ini disebakan karena kurangnya kemampuan  matematika  siswa  dalam  menyelesaikan  soal  penalaran  dan pemecahan masalah akibat lemahnya daya imajinasi siswa . Di sisi lain proses pembelajaran matematika yang dilakukan saat ini saat ini cenderung terlalu kering, teoritis, kurang kontekstual, dan bersifat semu. Pembelajaranpun kurang bervariasi, sehingga mempengaruhi minat siswa untuk mempelajari matematika lebih lanjut. Maka dari itu perlu sebuah inovasi dalam pembelajaran matematika.

Pembelajaran yang inovatif adalah pembelajaran yang dapat memberikan keteladanan,  membangun  kemauan,  dan  mengembangkan  potensi  peserta didik, seperti halnya yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2013 dimana proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan  kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan ilmiah (scientific) meliputi proses mengamati, menanya, mengumpulkan   data,   mengasosiai,   dan   mengomunikasikan   apa   yang dipelajari.  Di  samping  itu,  proses pembelajaran  harus mempertimbangkan kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik.

Salah  satu  pembelajaran  matematika  yang  inovatif  dapat  dilakukan melalui pendekatan budaya atau     yang disebut etnomatematika. Etnomatematika bisa didefinisikan sebagai cara-cara khusus yang dilakukan oleh suatu kelompok tertentu dalam melakukan aktivitas matematika. Sementara itu bentuk dari etnomatematika berupa hasil dari aktivitas matematika yang dimiliki atau berkembang pada kelompok itu sendiri, seperti konsep-konsep matematika pada peniggalan budaya berupa candi dan prasasti, peralatan tradisional, permainan tradisional, dan berbagai macam   hasil aktivitas yang sudah  membudaya.

Salah  satu  bentuk  etnomatematika  yang  menarik  untuk  dieksplorasi adalah situs Candi Borobudur, yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.  Dari  sisi  etnomatematika,  Candi     Borobudur  memiliki  banyak potensi untuk dikaji, salah satunya adalah bentuk  bangunan  yang banyak mengandung obyek geometri. Candi Borobudur memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan ajar pembelajaran matematika yang inovatif karena Candi Borobudur lekat dengan masyarakat, kontekstual, dan bisa dijadikan sebagai model konkrit untuk memahami matematika sehingga akan meningkatkan daya imajinasi siswa.


Daftar Pustaka

http://matematika008.blogspot.com/2017/01/teori-belajar-van-hiele.html

http://wwwdarsonmate.blogspot.com/2010/03/filasafat-geometri_31.html

https://timssandpirls.bc.edu/timss2015/international-database/

https://www.oecd.org/pisa/data/2015database/

Frey, B. B. (2018). Timss. The SAGE Encyclopedia of Educational Research, Measurement, and Evaluation. https://doi.org/10.4135/9781506326139.n704

Frey, B. B. (2018). Timss. The SAGE Encyclopedia of Educational Research, Measurement, and Evaluation. https://doi.org/10.4135/9781506326139.n704




Oleh: Rona Happy Mumpuni (Pendidikan Matematika D / 19709251059)
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Marsigit, M. A.
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu


Download this article https://drive.google.com/open?id=1tNjN9DlB-GouK50QaxmHwMGPNHK8ixAF 

Marsigit Filsafat
Marsigit Filsafat
Marsigit Filsafat
Marsigit Filsafat 2019
Marsigit Rona
Marsigit Rona





Filsafat Pendidikan Matematika: Penjelasan Filosofis terhadap Objek Matematika di SMP (Tugas Akhir Bagian II)

Filsafat Pendidikan Matematika P E N J E L A SAN F I L OSO F IS T ER H A D AP B E B ER A P A O B J E K M A T E M A T I K ...