Filsafat Pendidikan Matematika
PENJELASAN FILOSOFIS TERHADAP BEBERAPA OBJEK MATEMATIKA
DI
SMP
Diajukan kepada Prof. Dr.
Marsigit,
M. A.
untuk memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Disusun oleh:
Rona Happy Mumpuni
NIM 19709251059
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
I.
Filsafat Matematika dan Tinjauan Objek: Geometri
Menurut Gie dalam Dwin Gideon (2004 :
216), filsafat matematika merupakan sudut pandang yang menyusun dan
mempersatukan pelbagai bagian dan kepingan matematik berdasarkan beberapa asas
dasar. Persoalan dalam filsafat matematika dapat diperinci
menjadi tujuh persoalan sebagai bertikut:
1) Epistemologi
matematik, yang menelaah matematika berdasarkan berbagai segi pengetahuan
seperti kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas, asumsi dan landasan.
2) Ontologi
matematik, yang mempersoalkan cakupan pernyataan matematik sebagai dunia nyata
atau bukan.
3) Metodologi
matematik, yang menelaah metode khusus yang dipergunakan dalam matematika.
4) Struktur logika
matematik, yang membahas matematika sebagai struktur yang bercorak logis, yaitu
struyktur yang tunduk pada kaidah logika (law of logic), dan yang
mencapai kesimpulan logis (logical conclusions) tanpa menghiraukan
keadaan dunia empirik.
5) Implikasi
etis matematis, yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan
matematika dalam pelbagai bidang kehidupan, yang dipandang dari sudut pandang
etika.
6) Aspek estetis
matematik, yang berkaitan dengan ciri seni dan keindahan matematika, yang
diukur berdasarkan orisinalitas ide, kesederhanaan dalil, dan kecemerlangan
pemikiran; dan
7) Peranan
matematik dalam sejarah peradaban, yang meliputi analisis, deskripsi, evaluasi,
dan interpretasi tentang peranan matematik dalam peradaban sejak zaman kuno
hingga abad modern.
Pada geometri, hal yang berhubungan
dengan dengan filsafat adalah keberadaan objeknya. Hal ni berhubungan dengan
persoalan tentang ”ada”, sehingga berada pada ranah ontologi. Matematika
ditinjau dari aspek ontologi, dimana aspek ontologi telah berpandangan untuk
mengkaji bagaimana mencari inti yang yang cermat dari setiap kenyataan yang
ditemukan, membahas apa yang kita ingin ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental.
Pembahasan geometri meliputi benda-benda
abstrak sebagai objeknya. Pada kenyataannya, benda-benda abstrak tersebut dapat
dimodelkan dengan benda-benda kongkret sebagai objek pengamatan, khususnya pada
tahap awal pembelajaran tentang geometri di SD ataupun SMP. Pemodelan tersebut
tetap harus memperhatikan batasan-batasan atau definisi atau pengertian dari
benda-benda geometri yang dimaksud. Sehingga upaya mengkongkretkan banyalah
untuk mempermudah dalam penginderaan dan diarahkan untuk tidak merancukan atas
definisi atau pengertian benda-benda geometri yang sebenarnya. Dengan
pengamatan inderawi, para subjek pembelajar diharapkan memahami pengetahuan
melalui pengenalan dan pengertian. Pada akhirnya diarahkan untuk memahami objek
geometri sebenarnya yang bersifat abstrak dan hanya ada di alam pikiran.
Pada ranah epistemologi, matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dengan konsep-konsep yang kongkrit, kontektual, dan terukur matematika dapat memberikan jawaban secara akurat. Perkembangan struktur mental seseorang bergantung pada pengetahuan yang diperoleh siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi. Penalaran matematika adalah penalaran induktif dan deduktif . Berpikir induktif diartikan sebagai berpikir dari hal-hal khusus menuju umum, berpikir deduktif diartikan sbagai berpikir dari hal khusus menuju umum. Dalam geometri upaya memahami hal-hal yang abstrak guna memperoleh penyelesaian dilakukan melalui pembelajaran yang kontekstual dan pemodelan yang lebih kongkret. Pada asal mula lahirnya geometri, berawal dari upaya untuk mencari solusi terhadap masalah-masalah kongkret dalam kehidupan manusia. Berawal dari keinginan untuk membuat bangunan yang megah dan indah, mempermudah pengukuran, mengakuratkan perhitungan, dan menyelesaikan masalah keruangan lainnya.
Sifat alami geometri yang abstrak berkaitan dengan bangun-bangun pada matematika, berawal dari persoalan nyata kehidupan manusia. Sehingga hubungan antara realitas dan penyusunan pengertian manusia berhubungan erat dengan fenomenologi. Menurut Edmund Hussrel dalam Dwin Gideon (2004 : 217), seluruh ciri benda yang masuk ke dalam kesadaran sebagai fenomena. Fenomena bersifat intensional, yang berarti selalu berhubungan dengan struktur kesadaran. Kesadaran senantiasa terarah menampakkan diri, sehingga terjadi korelasi antara kesadaran dengan fenomena.
Di dalam kesadaran, fenomena berwujud sebagai perwakilan atas objek. Sartre menamakan perwakilan atas objek di dalam kesadaran dengan istilah imaji. Konsep imaji Sartre mempunyai dasar pengertian pada fenomena dan konstitusi Husserl, yang terlihat pada penjelasan :
“Dengan
demikian kata imaji hanya menunjukkan hubungan kesadaran dengan obyek; dengan
perkataan lain, imaji berarti cara di mana objek menampakkan dirinya dalam
kesadaran, atau suatu cara dimana kesadaran menghadirkan objek
untuk
kesadaran itu sendiri” (Sartre dalam Dwin Gideon, 2004 : 218).
Imaji dalam kesadaran mempengaruhi proses kognitif terhadap keberadaan objek yang tidak bersifat tunggal. Di saat indera menangkap objek geometri atau pemodelannya, persepsi akan menangkap keseluruhan objek sesuai dengan setyiap imaji dan menghasilkan imaji tentang onjek yang dilihat beserta keadaan lain seperti sifat-sifatnya. Sehingga di saat berhadapan dengan objek geometri yang sebenarnya (abstrak) yang memiliki kesamaan ciri-ciri dengan hasil pengamatan sebelumnya, kesadaran akan membentuk imaji dari objek geometri tersebut. Berdasarkan gagasan tentang imaji, objek-objek tersebut mendapati landasan ontologinya.
Geometri sebagai ilmu abstrak, dalam perlembangannya berperan besar terhadap kemajuan teknologi untuk memecahkan masalah praktis dan moral. Sehingga disamping mendapati landasan ontologinya, geometri dengan mudah juga akan mendapati landasan aksiologinya.
Aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu. Aksiologi merupakan filsafat nilai, menguak baik buruk, benar-salah dalam perspektif nilai. Aksiologi matematika sendiri terdiri dari etika yang membahas aspek kebenaran, tanggungjawab dan peran matematika dalam kehidupan, dan estetika yang membahas mengenai keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain terutama seni dan budaya dalam kehidupan. Jadi, jika ditinjau dari aspek aksiologi, matematika seperti ilmu-ilmu yang lain, yang sangat banyak memberikan kontribusi perubahan bagi kehidupan umat manusia di jagat raya nan fana ini. Segala sesuatu ilmu di dunia ini tidak bisa lepas dari pengaruh matematika.
Dimulai dengan pertanyaan dasar untuk apa penggunaan pengetahuan ilmiah? Apakah manusia makin cerdas dan makin pandai dalam mencapai kebenaran ilmiah,maka makin baik pula perbuatannya. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi maka pemenuhan kebutuhan dapat diperoleh secara cepat, tepat dan mudah. Tetapi ada juga yang menimbulkan bencana bagi manusia seperti perang, senjata nuklir dan lain-lain.
Bagaimana batas wewenang penelitian keilmuwan dan kemana perkembangan ilmu harus diarahkan, harus ditampakkan interaksi ilmu dan moral. Dari ilmu yang abstrak berubah menjadi teknologi untuk memecahkan masalah praktis dan moral. Begitu juga matematika kita mempelajarinya secara abstrak tetapi dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai ilmu pengetahuan. Manusia adalah makhluk yang berpikir artinya manusia selalu berpikir/memikirkan masalah secara rasional (pemikiran logis). Sikap seorang ilmuwan didasarkan pada etika dan agama berarti tanggungjawab terhadap Tuhan, masyarakat dan diri sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut matematika dipandang sebagai ilmu abstrak yang tidak bebas nilai dan moral, sehingga hasil pemikiran seorang matematikawan bisa bermanfaat bagi umum. Tidak dapat menerima sesuatu dengan asal-asalan tetapi harus dipikir secara mendalam dan teliti.
Geometri sebagai aspek dari matematika tidak dapat hanya dipandang sebagai bagian dari matematika. Hal ini karena adanya keterkaitan antar aspek yang satu dengan yang lain dalam matematika untuk secara bersama-sama memberikan sumbangan dalam kemajuan ilmu dan teknologi.
Geometri bersama matematika bertujuan untuk : 1) Melatih cara berfikir dan benalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonistensi, 2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, 3) Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, dan 4) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau memgkomunikasikan gagasan melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, dalam menjelaskan gagasan.
Sedangkan nilai-nilai matematika dapat dilihat pada penggunaanya seperti : 1) Digunakan dalam bidang sains dan teknik, 2) Untuk penelitian masalah tingkah laku manusia, 2) Membantu manusia dalam berdagang dan bidang perekonomian, 3) Ilmu matematikan juga digunakan dalam bidang komputer, 4) Membantu manusia berpikir secara matematis dan logis, dan 5) Dengan bilangan, manusia dapat menentukan kuantitas.
Pada aspek estetika yang membahas mengenai keindahan geometri dan implikasinya pada kehidupan yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain terutama seni dan budaya pada kehidupan. Banyak bangunan megah dan indah dihasilkan dari penerapan geometri pada bidang arsitektur. Bentuk geometris dalam sebuah perumahan modern menunjukkan area-area yang melingkar, garis lurus, konstruksi atap yang berbentuk segitiga, kotak-kotak yang rapi ataupun halaman rumah berbentuk persegipanjang, dan banyak bangun yang simetris terhadap suatu garis. Alam sendiri sama sederhananya dalam hal kesimatrian dan keindahannya, seperti halnya dalam sayap kupu-kupu yang memiliki bentuk identik. Bentuk-bentuk seperti lingkaran, persegipanjang, spiral, dan segitiga bisa kita temukan dalam peninggalan bangsa-bangsa prasejarah, meskipun sebenarnya pola-pola ini telah ada di alam sebelum manusia pertama tercipta. Lompatan pemahaman mengenai geometris merupakan hal yang benar-benar penting dalam sejarah matematika, juga dalam membuat landasan dari teori-teori spektakuler mengenai pergerakan planet-planet, perspektif, dan sebagainya.
Titik-titik, garis-garis, , sudut-sudut, dan bidang-bidang dijadikan sebagai dasar dari bentuk-bentuk geometris. Ketertarikan orang-orang Yunani terhadap geometri memulai sebuah renovasi dalam matematika. Misalnya, dalam sarang lebah madu, kristal-kristal, dan atom. Keduanya juga digunakan dalam bangunan-bangunan yang kita dirikan, mulai dari jembatan-jembatan besar sampai dengan satelit-satelit yang mengorbit ke bumi.
II.
Fenomena Pembelajaran Matematika di
Sekolah
Menurut Van
Hielle, ada tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi
pengajaran,dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur ditata
secara terpadu, akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tahapan berfikir
yang lebih tinggi. Teori Van Hiele dikembangkan oleh Pierre Marie Van
Hiele dan Dina Van Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an, hingga saat ini telah
diakui secara internasional dan memberikan pengaruh yang kuat dalam
pembelajaran geometri sekolah.
A. Karakteristik
Teori belajar Van hielle
Teori Van Hiele memiliki
beberapa karakteristik menurut Clement dalam Aisyah (2007) sebagai berikut:
a. Belajar adalah proses yang tidak
kontinu. Ini berarti terdapat loncatan di dalam kurva belajar yang
memperlihatkan adanya celah yang secara kualitatif membedakan tingkatan
berpikir. Siswa yang telah mencapai suatu tingkat, dia tetap pada tingkat itu
untuk suatu waktu dan seolah-olah menjadi matang. Dengan demikian tidak akan
banyak berarti apabila memberikan sajian kegiatan yang lebih tinggi dari tingkat
yang dimiliki siswa.
b. Tingkatan Van Hiele bersifat
hierarkis dan sekuensial. Untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, siswa harus
menguasai sebagian besar tingkat sebelumnya. Kecepatan untuk berpindah dari
suatu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi lebih banyak bergantung pada isi dan
metode pembelajaran dibandingkan dengan umur atau kematangan biologisnya’
c. Konsep yang secara implisit dipahami
pada suatu tingkat menjadi eksplisit pada tingkat berikutnya. Misalnya pada
tingkat visualisasi siswa mengenal bangun berdasarkan sifat bangun secara utuh,
tetapi pada tingkat analisis, bangun tersebut dianalisis sehingga sifat-sifat
serta komponennya ditemukan.
d. Setiap tingkatan masing-masing
mempunyai simbol bahasa tersendiri dan sistem yang mengaitkan simbol-simbol
itu. Siswa tidak mudah mengerti penjelasan guru apabila guru berbicara pada
tingkat yang lebih tinggi dari tingkat berpikir siswa. Hal ini mungkin akan
memunculkan suatu masalah apabila tingkat sajian kegiatan, serta bahan
pembelajaran tidak sesuai dengan tingkat berpikir siswa yang menggunakannya.
B. Tahapan
Berpikir teori Van Hielle
Van
Hielle dalam teorinya menyatakan bahwa seseorang dalam belajar geometri akan
mengikuti 5 tahap perkembangan berpikir yaitu tahap visualisasi, analisis,
deduksi informal, deduksi, dan rigor. Setiap tahap menunjukkan karakteristik
proses berpikir seseorang dalam memahami geometri. Burger & Culpeper (1993:
141- 243) menjelasakan ke-5 tahap perkembangan berpikir tersebut, yaitu:
a. Tahap
visualisasi
Menurut
Clement dan Batista (1992: 427), tahap visualisasi adalah tahap pengenalan
konsep-konsep geometri dalam matematika yang didasarkan pada karakteristik
visual atau penampakan bentuknya. Dalam hal ini penalaran siswa masih
didominasi oleh persepsinya. Pemahaman siswa terhadap bangun-bangun geometri
masih berdasarkan pada kesamaan bentuk dari apa yang dilihatnya. Bangun geometri
dikenal secara keseluruhan bukan secara bagian-bagian. Pada tahap ini siswa
dapat membedakan suatu bangun dengan lainnya tanpa harus menyebutkan
sifat-sifat masing-masing bangun tersebut.
Kemampuan
berpikir siswa masih berdasarkan pada kesamaan bentuk secara visual. Sebagai
contoh, siswa dapat mengenal suatu bagun persegi panjang, karena bentuknya
seperti ”papan tulis” . Dalam hal ini siswa belum dapat menyebutkan unsur-unsur
persegi panjang seperti panjang dan lebar. Jadi pada tahap ini siswa belum dapat
menentukan sifat-sifat dan karakteristik bangun geometri yang ditunjukkan.
b. Tahap
Analisis
Clement&
Batista (1992) dalam Husnaeni (2001: 28) menyatakan bahwa siswa pada tahap ini
mengakui dan dapat mencirikan bentuk-bentuk bangun geometri berdasarkan sifat-sifatnya,
dan sudah tampak adanya analisis terhadap konsep-konsep geometri. Sebagai
contoh melalui pengamatan, eksperiman, mengukur, menggambar, melipat, membuat
model dan sebagainya siswa dapat mengenali karakteristik dan menemukan beberapa
komponen yang mencirikan kelas suatu bangun. Meskipun demikian siswa belum
sepenuhnya bias menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut. Jadi belum
bisa melihat hubungan antara berbagai bangun, begitu pula dalam memahami
definisi.
c. Tahap
Deduksi Informal
Tahap ini
dikenal dengan tahap abstraksi/relasional (Clemen & Batista, 1992: 427). Menurut
Kahfi (2000), pada tahap ini siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat
dalam suatu bangun (misal dalam jajar genjang, sisi yang berhadapan sejajar
berakibat sudut-sudut yang berhadapan juga sama besar. Siswa dapat menyusun
definisi abstrak (definisi menjadi bermakna), siswa juga dapat menemukan
sifat-sifat dari kumpulan bangun pada tahap berpikir deduksi informal. Ketika
siswa menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun, mereka merasa perlu
mengorgansir sifat-sifat tersebut. Satu sifat bisa menjadi menjadi perantara
sifat-sifat lain, sehingga definisi tidak sekedar sebagai bentuk deskripsi, akan
tetapi sebagai cara pengorganisasian yang logis. Dari kemampuan berpikir ini
akan menjadi jelas mengapa persegi adalah persegi panjang, karena siswa dapat
menemukan bahwa sifat-sifat persegi adapada semua sifat-sifat persegi panjang.
Perorganisasian
yang logis dari ide-ide ini merupakan ungkapan pertama dari deduksi yang benar.
Akan tetapi siswa tetap belum memahami bahwa deduksi logis adalah metode untuk
membangun kebenaran geometri. Produk penalaran siswa pada tahap ini adalah
reorganisasi dari ide-ide yang telah dipahami sebelumnya dengan menghubung-hubungkan
antara sifat-sifat bangun dengan kelas-kelasnya (Husnaeni: 2001)
d. Tahap
Deduksi
Tahap ini
juga dikenal dengan deduksi formal (Clements & Batista, 1992). Siswa yang telah mencapai kemampuan berpikir
tahap ini telah dapat menyusun teorema-teorema dalam sistem aksiomatis, dapat
mengkonstruksi bukti-bukti orisinil. Husnaeni (2001) mengatakan bahwa,
siswa dapat membuat serangkaian pernyataan-pernyataan logis yang memenuhi untuk
menarik kesimpulan yang merangkum pernyataan tersebut. Siswa telah dapat memahami
hubungan timbal balik antara syarat perlu dan cukup. Siswa juga berpeluang
untuk mengembangkan lebih dari satu cara pembuktian, dan menyadari perlunya
pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.
e. Rigor
Tahap rigor
adalah tahap dimana siswa dapat bernalar secara formal dalam sistem matematika,
dan dapat mengkaji geometri tanpa referensi model-model. Sasaran penalaran
adalah hubungan-hubungan antara konstruk-konstruk formal. Produk penalarannya adalah
mengelaborasi dan membandingkan sistem-sistem aksiomatis pada geometri.
Menurut
pandangan van Hiele, pembelajaran geometri hanya akan efektif apabila sesuai
dengan struktur kemampuan siswa (Husnaeni, 2001). Dengan demikian
pengorganisasian pembelajaran baik isi dan materi maupun strategi pembelajaran
merupakan peran strategis dalam mendorong kecepatan siswa untuk melalui
tahap-tahap belajar geometri.
Van
Hiele berkeyakinan dalam Kahfi (2000) bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak
diperoleh guru lewat ceramah, akan tetapi melalui pemilihan latihan yang
tepat.( D’Augustine dan Smith, 1992; Clement dan Batista, 1992).
Oleh
karena itu van Hiele menawarkan lima tahap pembelajaran yang berurutan dan
sekaligus merupakan peran guru dalam mengelola proses pembelajaran, yaitu:
Tahap I: Inquiri
Pada tahap ini,
konsep-konsep baru di geometri diperkenalkan melalui interaksi antara guru dan
siswa. Pertanyaan yang diajukan diharapkan akan mendorong siswa untuk meneliti
dan mengamati, tentang perbedaan dan kesamaan obyek. Tujuan kegiatan ini antara
lain digunakan untuk memperoleh informasi tentang pengetahuan awal apa yang
dimiliki siswa untuk materi yang akan dipelajari dan dapat mengarahkan siswa
pada pembelajaran selanjutnya.
Tahap 2: Orientasi
Terarah
Pada tahap ini guru
mengarahkan siswa untuk meneliti karakteristik khusus dari obyek-obyek yang
dipelajari. Tujuan pembelajaran pada tahap ini adalah agar
- merangsang siswa secara
aktif melakukan kegiatan eksplorasi obyek-obyek (seperti mengukur, melipat)
untuk menemukan hubungan sifat-sifat dari bentuk-bentuk bangun,
- guru hanya mengarahkan
siswa dan membimbingnya dalam kegiatan eksplorasi sehingga mendapatkan hubungan
sifat-sifat dari bentuk-bentuk geometri.
Tahap 3: Uraian/
penjelasan
Pada tahap ini guru
memberikan kesempatan pada siswa untuk membagi pengalamannya tentang bangun
yang diamatinya dengan menggunakan bahasanya sendiri. Pada fase ini siswa
diberikan peluang untuk menguraikan pengalamannya, mengekspresikan, dan
mengubah pengetahuan intuitif mereka yang tidak sesuai dengan struktur bangun
yang diamati. Bobango (1993) menyatakan bahwa aktivitas siswa dalam tahap ini
adalah mengkomunikasikan pendekatan dan temuan mereka kepada teman-temannya
yang lain.
Peran guru pada tahap ini
adalah mengarahkan siswa ketahap pemahaman pada obyek-obyek, ide-ide geometri,
hubungan, pola-pola dan sebagainya melalui diskusi antar siswa dengan
menggunakan bahasa siswa sendiri.
Tahap 4: Orientasi
bebas
Pada tahap ini siswa
mendapatkan tugas-tugas dalam bentuk pemecahan masalah, dimana mereka diarahkan
agar dapat menyelesaikannya masalah dengan cara mereka sendiri dalam berbagai
cara.
Tahap orientasi bebas
bertujuan agar siswa memperoleh pengalaman menyelesaikan permasalahan dengan
strategi sendiri. Guru berperan memfasilitasi soal-soal geometri yang
memungkinkan siswa untuk menyelesaikan permasalahan.
Tahap 5: Integrasi
Pada tahap ini siswa direncanakan
untuk membuat review dan ringkasan dari apa yang telah dipelajarinya. Dalam hal
ini guru berperan mendorong siswa untuk membuat ringkasan , dan mengkonsolidasikan
hasil pengamatan maupun penemuan mereka yang telah didiskusikan dan
mengklarifikasi pengetahuan mereka.
Dalam
penerapannya tahapan van Hielle tidak harus dilakukan secara berurut, akan
tetapi dapat dilakukan secara berulang tergantung dari pemahaman siswa. Apabila
dalam suatu tahap dianggap siswa belum dapat memahami materi, maka pelajaran
dapat diulangi pada tahap sebelumnya.
C. Identifikasi Persoalan Filosofis Pembelajaran Matematika di Sekolah
Pendidikan di Indonesia jelas perlu untuk dikembangkan
terus menerus. Program filsafat untuk anak adalah salah satu usaha yang perlu
dilakukan, guna mewujudkan tujuan tersebut. Program ini amatlah penting, karena
filsafat tidak hanya memberikan pengetahuan baru, tetapi juga mengajak orang
untuk berpikir tentang hidupnya secara lebih mendalam. Pendek kata, filsafat
adalah bagian penting dari pendidikan hidup (Lebensbildung)
setiap orang. Dengan kemampuan bernalar kritis serta reflektif, filsafat
membentuk cara berpikir, dan mengajarkan orang untuk membuat keputusan dengan
berpijak pada pertimbangan-pertimbangan yang tepat. Hal ini tentu amat
dibutuhkan oleh setiap orang. Namun, kemampuan ini tidak datang begitu saja,
melainkan harus dilatih secara berulang-ulang di dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, idealnya, kemampuan ini harus dilatih secara usia dini.
Disinilah arti terpenting dari program filsafat untuk anak untuk konteks
Indonesia. Peran guru, orang tua, pemerintah dan masyarakat luas juga amatlah
besar, yakni sebagai “fasilitator filosofis”, guna membantu anak berpikir
secara mandiri dan kritis.
Pada tingkat yang lebih luas, program filsafat untuk
anak juga bisa berperan amat besar untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia
di Indonesia. Ini amatlah penting untuk menunjang kemajuan bangsa. Namun,
program filsafat untuk tidak boleh jatuh pada birokratisasi yang justru
membunuh roh kritis dari filsafat itu sendiri. Ia juga harus memberikan ruang
yang memadai untuk berdialog dengan kultur setempat yang sebelumnya sudah ada
di Indonesia.
Pendidikan matematika di Indonesia membawa hasil yang masih jauh
dari harapan. Hal ini ditunjukkan dengan dipublikasikannya hasil penelitian
yang
dilakukan
oleh TIMSS (Thrends
International Mathematics Science
Study) pada tahun 2015 yang lalu. Hasil TIMSS 2015 yang baru dipublikasikan
Desember 2016 lalu menunjukkan prestasi siswa Indonesia bidang matematika
mendapat peringkat 46 dari 51 negara dengan skor 397. Sementara itu 5 besar peringkat tertinggi adalah Singapura, dikuti oleh Korea, Cina, Hongkong dan Jepang, Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkap
oleh hasil studi Programme
for International Student Assessment (PISA) 2015. Indonesia menduduki peringkat 10 dari bawah dengan rata-rata skor pencapaian siswa-siswi
Indonesia untuk matematika berada di peringkat 63 dari 70 negara yang
dievaluasi.
Hasil yang ditunjukkan oleh TIMSS maupun PISA tentu
merupakan sebuah tamparan
bagi bangsa
Indonesia
untuk segera
introspeksi dan
berbenah diri. Pasalnya menurut Pranoto ada
penelitian yang menyimpulkan bahwa anak yang penguasaan matematikanya kurang akan sulit “berjalan” di abad 21 ini. Hal ini tentu akan sangat berbahaya
bagi kemajuan bangsa
ditengah persaingan dunia
yang sangat ketat.
Hasil yang kurang menyenangkan ini disebakan karena kurangnya kemampuan matematika
siswa dalam
menyelesaikan
soal
penalaran
dan
pemecahan masalah
akibat lemahnya daya imajinasi siswa .
Di sisi lain proses pembelajaran matematika yang dilakukan saat ini saat ini cenderung terlalu
kering, teoritis, kurang kontekstual, dan bersifat semu. Pembelajaranpun
kurang
bervariasi, sehingga mempengaruhi minat siswa untuk
mempelajari matematika lebih lanjut.
Maka dari itu perlu
sebuah inovasi dalam pembelajaran matematika.
Pembelajaran yang inovatif adalah pembelajaran yang dapat
memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi
peserta didik, seperti halnya yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan
dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 65 tahun 2013 dimana proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan ilmiah
(scientific)
meliputi proses mengamati, menanya,
mengumpulkan data, mengasosiai,
dan mengomunikasikan apa yang dipelajari.
Di samping itu,
proses pembelajaran harus mempertimbangkan
kebhinekaan budaya, keragaman
latar
belakang dan
karakteristik
peserta didik.
Salah satu
pembelajaran
matematika yang inovatif
dapat dilakukan
melalui pendekatan budaya atau
yang disebut etnomatematika. Etnomatematika bisa didefinisikan sebagai cara-cara
khusus yang dilakukan
oleh suatu kelompok tertentu dalam melakukan aktivitas matematika.
Sementara itu bentuk dari etnomatematika berupa
hasil dari aktivitas matematika yang dimiliki atau berkembang pada kelompok itu
sendiri, seperti konsep-konsep matematika pada
peniggalan budaya berupa
candi dan prasasti, peralatan tradisional, permainan
tradisional, dan berbagai macam hasil aktivitas yang
sudah
membudaya.
Salah satu
bentuk etnomatematika
yang menarik untuk dieksplorasi adalah situs Candi Borobudur, yang terletak di Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah. Dari
sisi etnomatematika, Candi Borobudur memiliki
banyak
potensi untuk dikaji, salah satunya adalah bentuk
bangunan yang banyak mengandung obyek geometri. Candi Borobudur
memiliki potensi untuk
dimanfaatkan sebagai bahan ajar
pembelajaran matematika yang inovatif
karena
Candi Borobudur lekat dengan masyarakat, kontekstual, dan bisa dijadikan sebagai
model konkrit untuk memahami matematika
sehingga akan meningkatkan daya imajinasi siswa.
Daftar Pustaka
http://matematika008.blogspot.com/2017/01/teori-belajar-van-hiele.html
http://wwwdarsonmate.blogspot.com/2010/03/filasafat-geometri_31.html
https://timssandpirls.bc.edu/timss2015/international-database/
https://www.oecd.org/pisa/data/2015database/
Frey, B. B. (2018). Timss. The
SAGE Encyclopedia of Educational Research, Measurement, and Evaluation.
https://doi.org/10.4135/9781506326139.n704
Frey, B. B. (2018). Timss. The
SAGE Encyclopedia of Educational Research, Measurement, and Evaluation.
https://doi.org/10.4135/9781506326139.n704
Oleh: Rona Happy Mumpuni (Pendidikan Matematika D / 19709251059)
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Marsigit, M. A.
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Download this article https://drive.google.com/open?id=1tNjN9DlB-GouK50QaxmHwMGPNHK8ixAF
Marsigit Filsafat
Marsigit Filsafat
Marsigit Filsafat
Marsigit Filsafat 2019
Marsigit Rona
Marsigit Rona